Bunda sering mendengar atau menjumpai temulawak di pasar? Temulawak ternyata punya banyak nilai lebih lho untuk kesehatan ! Kita kenalan dulu yuk
dengan berbagai macam manfaat temulawak, tanaman herbal
yang penuh khasiat satu ini Bunda :)
Temulawak merupakan tanaman asli Indonesia yang dikenal sebagai liver protection yang termasuk ke dalam famili Zingiberaceae. Tanaman temulawak mempunyai nama latin Curcuma xanthorrhiza. Di daerah Jawa Barat, temulawak sering disebut sebagai "Koneng Gede", sedangkan di Madura disebut "Temu Lobak". Temulawak adalah tanaman asli dari Indonesia, yang bisa dilihat dari nama sinonimnya yaitu Curcuma javanica.
Menurut Handayani dan Suharmiati (2011) temulawak telah dikenal di Indonesia dan Eropa sejak awal abad XVI dan hingga sekarang telah digunakan sebagai bahan dasar fitokimia. Menurut Afifah (2003) temulawak termasuk salah satu jenis temu-temuan yang tidak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Asia Tenggara. Temulawak sudah lama dimanfaatkan oleh mereka untuk berbagai keperluan.
Temulawak yang dipercaya sebagai tanaman asli Indonesia, menyebar ke beberapa negara lain, seperti Malaysia, Cina bagian selatan, Filipina, Birma, Thailand, dan India. Tumbuhan yang diduga kuat berasal dari Pulau Jawa ini menyebar ke beberapa wilayah yang ada Indonesia, antara lain seperti Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Sumatera Selatan, Kalimantan, dan Sulawesi.izi
Temulawak yang memiliki nama latin Curcuma xanthorriza termasuk famili Zingiberaceae. Temulawak satu famili dengan anggota temu-temuan lainnya, yakni temu hitam (Curcuma aeruginosa), kunyit (Curcuma domestca Val.), kencur(Kaempferia galanga), lengkuas (Lenguas galaga), dan jahe (Zingiber officinale Rosc.) Di sepanjang daerah tropis dan subtropis, famili Zingiberaceae terdiri dari 47 genus dan 1400 spesies.
Temulawak termasuk dalam divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Monocotyledoneae, bangsa Scitamineae, suku atau famili Zingiberaceae, marga Curcuma, dan spesies Curcuma xanthorrhiza Roxb. Sebagai kelompok marga Curcuma, temulawak tentu tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan tidak kurang dari 20 jenis Curcuma yang tumbuh di negeri ini dan tidak kurang dari 70 jenis Curcuma tersebar di kawasan Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Australia bagian utara.
Curcuma berasal dari kata Arab, kurkum, yang berarti kuning. Xanthorhiza berasal dari kata bahasa Yunani, xanthos yang berarti kuning serta rhiza berarti umbi akar. Jadi Curcuma xanthorhiza disebut temulawak, yang berarti akar kuning. Dalam bahasa Jerman disebut javanischer gelbwurzel (Afifah, 2003).
Temulawak perlu untuk dikembangkan dan dimanfaatkan oleh masyarakat luas karena telah terbukti empiris dan atas hasil penelitian ilmiah terbukti mempunyai manfaat baik bagi kesehatan. Berdasarkan Info POM dari BPOM RI (2005) temulawak merupakan salah satu dari sembilan tanaman obat unggulan Indonesia. Sejak tahun 2003, temulawak mulai diteliti dan sedang dalam tahap proses penyelesaian uji klinik oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan
Ciri-ciri Temulawak
1.
Memiliki batang semu dengan tinggi lebih dari 1 meter yang berwarna
hijau atau cokelat.
2.
Bentuk daun bundar memanjang sampai lanset,
berwarna hijau atau cokelat keunguan
terang sampai gelap.
3. Perbungaan lateral,tangkai ramping, dan sisik berbentuk garis.
4. Kelopak bunga berwarna putih memiliki bulu, panjang 8-13
mm.
5.
Mahkota bunga memiliki bentuk tabung, dengan ukuran panjang keseluruhan
4,5 cm.
6. Helaian
bunga berbentuk bundar
memanjang berwarna putih, dengan ujung yang berwarna merah dadu atau merah, ukuran panjang 1,25 cm – 2 cm dan
lebar 1 cm (Hidayat
dkk,2015)
Rimpang temulawak berbau tajam, berwarna kekuning-kuningan. Menurut Handayani dan Suharmiati (2011) Rimpang temulawak bersifat
aromatik, berbau tajam,
berasa pahit, dan daging buahnya berwarna kekuningan.
Budidaya Temulawak
Sekarang ini, temulawak telah banyak dibudidayakan oleh masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari kebutuhan akan temulawak yang terus meningkat untuk berbagai keperluan, terutama untuk jamu atau minuman segar. Temulawak yang dibudidayakan itu, umumnya dipasok ke pabrik-pabrik jamu dan industri minuman.
Tentunya, pabrik-pabrik jamu yang akan membeli temulawak menerapkan seleksi ketat atas bahan baku yang akan dibeli. Hal ini dimaksudkan agar bahan baku jamunya benar-benar berkualitas, sehingga produksinya bisa optimal dan memberikan keuntungan lebih. Karena itu, dalam membudidayakan perlu memperhatikan beberapa faktor di bawah ini agar kuantitas, kualitas, dan kapasitas hasil tanamnya dapat lebih optimal.
Cara Menanam Temulawak
Pada awalnya, temulawak banyak tumbuh di hutan-hutan, terutama di hutan jati bersama keluarga temu-temuan lainnya, seperti temu giring, temu glenyeh, temu ireng, temu ketek, dan temu poh. Temulawak banyak tumbuh liar di padang alang-alang dan di tanah-tanah kering. Sekarang ini, melalui penanaman, temulawak juga tumbuh dengan baik di tegalan, kebun, dan pekarangan rumah.
Secara alami temulawak dapat tumbuh dengan baik di lahan-lahan yang teduh dan terlindung dari terik sinar matahari. Di habitat alami, rumpun tanaman ini tumbuh subur di bawah naungan pohon bambu maupun jati. Meski begitu, temulawak juga dapat tumbuh di tempat yang terik, contohnya seperti di tanah tegalan.
Tanaman ini memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap berbagai cuaca di daerah yang mempunyai iklim tropis. Suhu udara yang baik untuk budidaya temulawak antara 19-30oC. Tanaman ini memerlukan curah hujan tahunan antara 1000-4000 mm / tahun.
Menurut Muhlisah (1999) temulawak tidak terlalu rewel dengan kondisi lahan. Lahan yang sudah sering dimanfaatkan hingga kondisi unsur haranya sudah amat berkurang pun masih baik untuk ditanami temulawak. Temulawak mudah beradaptasi dengan tanah berpasir, tanah liat,maupun tanah merah.
Yang penting, lahan tidak terkena sinar matahari secara langsung. Lahan di bawah pepohonan rindang akan membuat temulawak tumbuh dengan baik. Indikasi bahwa lahan terlalu panas terlihat pada daun yang menggulung bila terkena panas matahari dan mudah rusak. Untuk memproduksi rimpang yang optimal diperlukan tanah yang subur, gembur, dan berdrainase baik.
Tanaman temulawak dapat tumbuh di dataran rendah dan dataran tinggi, sampai ketinggian 1500 m dari permukan laut (dpl). Bahkan, ada yang menyebut sampai ketinggian 1800 m dpl. Meskipun begitu, berdasarkan penelitian, temulawak yang tumbuh di dataran rendah sampai sedang antara 240-450 m dpl produksi rimpangnya lebih tingggi, yaitu mencapai 13,02 - 14,60 ton rimpang segar per hektar. Sementara itu, temulawak yang tumbuh di dataran tinggi sekitar 1200 m dpl produksi rimpangnya hanya sebesar 5,80 ton/ha.
Perbanyakan tanaman dapat dilakukan dengan pemisahan rumpun dari tanaman yang sudah tua. Namun, penanaman dalam skala cukup luas lebih efisien menggunakan bibit asal rimpang. Siapkan bibit dari rimpang tanaman yang sudah cukup umur (9 Bulan). Rimpang induk lebih bagus digunakan sebagai bibit dibandingkan dengan rimpang cabang. Untuk penanaman satu hektar lahan diperlukan bibit sekitar 500 - 700 kg.
Berdasar Wiryowidagdo dan Sitanggang (2008) jarak tanam bibit rimpang tergantung pada jeinisnya. Misalnya untuk temulawak bisa ditanam dengan jarak 40 cm. Media tanam yang digunakan adalah tanah, pasir, dan pupuk kandang dengan perbandingan 1 : 1 : 2. Bibit rimpang yang digunakan sebaiknya sudah tua, tidak cacat, dan bernas.
Untuk memacu pertumbuhan tunas, rimpang yang baru dibongkar dapat dipendam dulu di tempat yang lembab, misalnya pada tanah yang ditimbun pasir. Setelah tunas tumbuh, rimpang dapat dipotong-potong. Pastikan bahwa setiap rimpang paling tidak mempunyai 2 atau 3 mata tunas. Setelah tumbuh, rimpang bisa langsung ditanam di kebun ataupun di pekarangan rumah. Jarak tanamnya adalah 60x60 cm.
Untuk membantu pertumbuhan tanaman yang baik dan produksi yang optimal, kita harus melakukan pemupukan. Berikan pupuk kandang saat pengolahan tanah sebanyak 10-15 ton per hektar. Tambahkan pupuk buatan berupa Urea 150 kg per hektar, TSP 200 kg per hektar, dan KCl 120 - 150 kg per hektar. Urea dan KCl dibagi dalam dua kali pemberian. Pemberian pertama separuh dosis pada saat tanam dan sisanya diberikan pada saat tanaman temulawak berumur 2 bulan. Pupuk TSP diberikan seluruhnya pada waktu melakukan penanaman.
Lakukan penyiangan terhadap rerumputan atau tanaman yang tumbuh liar dan mengganggu pertumbuhan tanaman pokok. Lakukan pula pembumbunan 2-3 kali dalam satu masa tanam sehingga pembentukan rimpang berjalan baik. Setelah berumur satu tahun, tanaman dapat dipanen. Bersihkan rimpang dengan cara dicuci. Temulawak sudah dapat langsung dijual dalam bentuk rimpang segar (Muhlisah, 1999)
Panen (Pemungutan Hasil)
Produksi utama dari tanaman temulawak adalah rimpang-rimpangnya. Tanaman ini dapat dipanen rimpangnya setelah berumur cukup tua, yaitu antara 9-10 bulan setelah tanam. Ciri-ciri umum tanaman temulawak siap dipanen adalah daun-daun dan bagian tanaman telah mulai berwarna kuning atau mengering, serta bila membongkar beberapa rumpun contoh telah nampak rimpangnya berukuran besar-besar serta berwarna kuning-kotor.
Cara pemungutan rimpang temulawak relatif gampang dan praktis, yaitu cukup dengan menggali rumpun tanaman bersama akar-akarnya. Pada penanaman yang baik dan dipelihara secara intensif dapat menghasilkan rimpang segar sebanyak 10-20 ton per hektar (Rukmana, 2006)
Jenis-jenis Produk Olahan Temulawak
Temulawak telah dimanfaatkan secara luas oleh masyarakat karena kegunaannya yang beraneka ragam. Di samping sebagai jamu, melihat komposisi dan memilki aroma yang khas, temulawak bisa dimanfaatkan sebagai bahan minuman maupun makanan.
Melalui cara tradisional, temulawak telah diolah menjadi beberapa jenis makanan dan minuman seperti bubur temulawak dan limun temulawak. Olahan tersebut lebih dikenal sebagai makanan dan minuman yang berkhasiat untuk kesehatan, seperti untuk menyembuhkan masuk angin dan memperbaiki pencernaan.
Rimpang temulawak seringkali diproses menjadi bentuk simplisia. Namun, sekarang telah dikembangkan produk-produknya hingga menjadi beraneka ragam. Beberapa di antara hasil olahan temulawak antara lain simplisia rimpang, pati, oleoresin, dan minyak temulawak
1. Simplisia Rimpang
Menurut Muhlisah (1999) selain dijual dalam bentuk segar, temu lawak banyak diperdagangkan berupa simplisia. Berdasarkan Said (2007) simplisia ialah bahan baku alami yang digunakan untuk membuat ramuan obat tradisional yang belum mengalami pengolahan apa pun kecuali proses pengeringan.
Ditinjau dari asalnya, simplisia digolongkan menjadi dua yaitu simplisia nabati serta simplisia hewani. Simplisia hewani berasal dari hewan, baik yang masih utuh, organ-organnya, maupun zat-zat yang dikandungnya yang berfungsi sebagai obat serta belum berupa zat kimia murni.
Simplisia nabati berasal dari tanaman, baik yang masih utuh bagian-bagiannya, maupun zat-zat nabati yang dipisahkan dari tanamannya serta belum berbentuk zat kimia murni. Sumber simplisia nabati sampai saat ini ialah tumbuhan liar dan tanaman budi daya Kita tahu bahwa simplisia temulawak tergolong simplisia nabati.
Cara pembuatan simplisia temulawak relatif mudah, yaitu rimpang - rimpang temulawak, baik induk dan juga cabang yang tidak digunakan untuk bibit, dicuci bersih,dikupas, dipanaskan, serta diiris secara melintang dengan tebal sekitar 0,6 cm. Irisan rimpang kemudian dijemur di atas lantai yang beralas, seperti tikar. Penjamuran dengan menggunakan alas ini bertujuan agar irisan temulawak tidak terkena tanah dan memudahan pengangkutannya ke gudang.
Pencucian bertujuan untuk membersihkan dan melepaskan tanah yang melekat pada rimpang. Pemanasan untuk mengurangi waktu pengeringan serta agar memperoleh warna rimpang yang seragam yaitu kuning menyala, dan produk yang keras akibat gelatinisasi pati. Pengirisan untuk mengurangi waktu pengeringan dan mempermudah penggilingan.
Pengeringan merupakan proses yang sangat penting dalam pembuatan simplisia karena di samping bertujuan agar rimpang tidak mengalami pembusukan, proses pengeringan juga merupakan faktor penentu kualitas simplisia. Beberapa cara pengeringan yang diketahui antara lain pengeringan langsung dengan cara dijemur di bawah matahari, pengeringan yang menggunakan alat pengering buatan, serta pengeringan dengan menggunakan kamar pengering yang dialiri udara panas.
Pengeringan langsung merupakan proses yang murah karena menggunakan sinar matahari dan tidak membutuhkan bahan bakar. Hanya saja, pengeringan semacam ini rawan terkontaminasi oleh debu, burung, serangga, maupun tikus. Di samping itu, jika cuaca tidak menentu kualitasnya akan jelek, Jika cuaca cerah, pengeringan langsung memerlukan waktu 5-6 hari. Pengeringan dengan alat pengering dilakukan selama sekitar 7 jam dengan suhu 50-55oC. Umumnya, hasil pengeringan yang diperoleh ialah 5: 1, yakni 5 kg temulawak basah jika dikeringkan akan menyusut menjadi 1 kg.
2. Pati Temulawak
Pati temulawak dikenal mudah dicerna sehingga sangat baik untuk orang yang baru sembuh dari sakit. Tepung pati temulawak dapat dibuat menjadi berbagai jenis kue yang punya rasa khas dan mempunyai khasiat yang baik untuk kesehatan. Teknik isolasi temulawak secara umum hampir sama dengan isolasi pati dari sumber lainnya.
Pembuatannya secara tradisional dengan menghancurkan rimpang temulawak, kemudian mengekstraksi patinya dan menambahkan air, memeras, kemudian menyaringnya. Endapan pati dikeringkan, dihaluskan, dan diayak. Dengan cara ekstraksi tersebut, diperoleh pati berwarna kuning jingga dengan aroma khas temulawak.
Perlakuan refluk atau pengulangan ekstraksi dengan etanol dapat memisahkan kurkumin sehingga pati yang dihasilkan akan lebih putih.
Dalam mengekstrak bahan aktif temulawak, secara umum dikenal beberapa metode yang bisa diterapkan.
a. Maserasi
Maserasi ialah merendam bahan di dalam pelarut. Cara ini sangat sederhana, tetapi membutuhkan waktu sangat lama. Proses ekstraksi dengan cara ini hasilnya kurang sempurna.
b. Digesti
Digesti ialah ekstraksi dengan tenik maserasi yang dikombinasikan dengan proses pemanasan. Metode ini tidak cocok untuk bahan aktif yang tidak tahan panas.
c. Perkolasi
Perkolasi ialah metode ekstraksi yang menggunakan cara mengalirkan pelarut melalui serbuk simplisia. Metode ini membutuhkan waktu yang sangat lama.
d. Sokletasi
Sokletasi ialah cara ekstraksi yang digunakan di laboratorium. Cara ini juga tidak cocok untuk bahan aktif yang tidak tahan panas.
e. Maserasi dengan Pengadukan
Cara ini merupakan cara yang paling representatif dari cara-cara di atas. Ekstraksi dengan cara ini dapat mempercepat waktu yang dibutuhkan menjadi 6-24 jam.
3. Minyak Temulawak
Minyak temulawak merupakan minyak atsiri yang dihasilkan dari rimpang temulawak. Minyak atsiri terdapat dalam kelenjar minyak atau ruang antar sel di dalam jaringan tanaman. Rimpang temulawak mempunyai kadar minyak atsiri antara 4,6%-11% , mempunyai rasa yang tajam dan bau khas aromatik.
Banyaknya kandungan minyak atsiri temulawak tergantung pada umur rimpangnya. Kandungan tertinggi dicapai pada saat pemanenan rimpang berumur 12 bulan.
Minyak atsiri temulawak dapat diperoleh dengan penyulingan uap terhadap irisan-irisan temulawak. Minyak atsiri akan terbawa bersama-sama dengan uap dan diembunkan kembali, kemudin dipisahkan dari air untuk memperoleh minyak atsirinya.
Untuk memperoleh minyak atsiri secara maksimal, sebaiknya, bahan dirajang atau diiris-iris terlebih dahulu sebelum disuling sehingga kelenjar minyak dapat terbuka sebanyak mungkin. Jika tidak dilakukan perajangan, hasilnya kurang maksimal karena minyak yang keluar selama proses penyulingan hanya disebabkan oleh kekuatan difusi air (hidrodifusi).
Tujuan perajangan adalah memudahkan penguapan minyak atsiri dari bahan. Karena perajangan memudahkan penguapan, untuk mengurangi penguapan minyak atsirinya, bahan yang telah dirajang harus sesegera mungkin disuling.
Rendemen minyak temulawak selain dipengaruhi oleh perajangan juga dipengaruhi oleh ketebalan temulawak dan waktu penyulingan. Semakin lama waktu penyulinagn, semakin tinggi pula rendemen minyak temulawak. Sementara itu, bahan yang semakin tebal mengakibatkan penurunan rendemen minyak temulawak.
4. Oleoresin
Oleoresin temulawak ialah sari temulawak yang mengandung komponen-komponen temulawak, baik yang menguap (minyak atsiri) maupun yang tidak menguap (seperti resin dan pigmen). Oleoresin dapat digunakan untk industri makanan dan minuman.
Oleoresin lebih disukai oleh pabrik industri bila dibandingkan dengan bahan asalnya, sebab oleoresin lebih higienis, memiliki aroma yang tajam, serta dapat disimpan untuk jangka waku lama. Oleoresin temulawak bisa diperoleh dengan cara mengekstrak temulawak dengan bahan-bahan pelarut organik.
Jenis-jenis pelarut yang dapat dipakai adalah alkohol, heksan, etil asetat, etil alkohol, isopropil, alkohol, aseton, gliserol, dan gliseril. Di antara bahan-bahan tersebut alkohol banyak dipakai karena relatif aman untuk makanan, sifat polarnya banyak membantu dalam mendapatkan emulsi oleoresin yang baik, dan mempermudah kelarutannya dalam air.
Ekstraksi untuk mendapatkan oleoresin biasanya dilakukan dengan cara perkolasi pada suhu kamar atau panas. Pelarutnya diuapkan dengan bantuan pompa vakum pada suhu sekitar 50oC. Disebabkan kandungan kurkuminoidnya, oleoresin temulawak berwarna merah tua atau merah jingga.
Kandungan Temulawak
Khasiat temulawak dalam dunia kedokteran modern terutama disebabkan dua kelompok kandungan kimia utamanya, yaitu senyawa berwarna kuning golongan kurkuminoid dan minyak atsiri.
Menurut Handayani dan Suharmiati (2011) Kurkuminoid di dalam temulawak terdiri atas dua jenis senyawa, yaitu kurkumin dan desmetoksikurkumin. Khasiatnya untuk menetralkan racun, meningkatkan sekresi empedu, antibakteri, mencegah terjadinya perlemakan dalam sel-sel hati dan sebagai antioksidan penangkal senyawa-senyawa radikal berbahaya.
Di dalam temulawak terdapat Minyak atsiri yang terdiri atas 32 komponen yang secara umum bersifat meningkatkan produksi getah empedu dan mampu menekan pembengkakan jaringan.
Salah satu komponennya yang disebut xanthorrizol mampu sebagai antibakteri, mencegah rusaknya email gigi dan plak, serta membantu mengobati kanker payudara, paru-paru, dan ovarium (Handayani dan Suharmiati, 2011)
Paduan antara zat warna kuning kurkuminoid dan minyak atsiri memiliki kemampuan mempercepat regenerasi sel-sel hati yang mengalami kerusakan akibat racun kimia. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, orang mudah memisahkan kurkuminoid dan minyak atsiri, kemudian dibuat sediaan dalam bentuk kapsul yang praktis digunakan.
Di dalam temulawak juga terkandung bahan aktif felandren, kamfer,tumerol, tolilmetikarbinol, xanthorizzol, kurkumin, pati dan resin (Aliadi et al, 1996).
Bagian dari temulawak yang banyak digunakan adalah bentuk rimpangnya. Berdasarkan Info POM dari BPOM RI (2005) bentuk rimpang ini dapat digunakan dalam bentuk rimpang segar, rimpang kering, atau rimpang yang telah diserbukkan.
Rimpang ini dapat juga diolah dulu menjadi bentuk sediaan galenik seperti ekstrak, dekok, infus, tingtur, bentuk teh, dan juga bentuk sediaah farmasi yang telah siap saji seperti serbuk effervescent, kaplet, kapsul atau kapsul lunak, dan tablet.
Rimpang temulawak mengandung kurkuminoid, minyak lemak, mineral, serta minyak atsiri. Tepung merupakan kandungan utama, jumlahnya bervariasi antara 48-54 % tergantung dari ketinggian tempat tumbuhnya.
Selain tepung, temulawak juga mengandung zat gizi seperti karbohidrat, lemak, protein, serat kasar, dan beberapa mineral seperti kalium, magnesium, natrium, zat besi, kadmium, dan mangan. Fraksi kurkuminoid terdiri dari kurkumin, desmetoksi kurkumin, dan bisdesmetoksikurkumin.
Kurkumin merupakan bahan aktif yang utama yang sudah banyak diteliti. Minyak atsirinya memiliki komponen antara lain xanthorrhizol, B-kurkumin, arkurkumin, kamfor, dan germakrene
Manfaat Temulawak bagi Kesehatan
Menurut Nilawati (2008) temulawak berfungsi sebagai pelindung sel-sel hati. Selain itu juga berfungsi sebagai kolagoukum atau memudahkan pengeluaran cairan empedu untuk pencernaan lemak. Kurkumin dalam temulawak mampu mengikat radikal bebas jenis peroksida lemak.
Kurkumin dalam temulawak juga berfungsi seba